Fermentasi Media Padat Dari Tempe Sampai Enzim
Telah kita ketahui, sebenarnya secara garis besar teknologi fermentasi terdiri atas fermentasi media cair dan fermentasi media padat. Pembahasan kali ini dibatasi pada fermentasi media padat saja dalam rangka menganalogikan dengan produksi tempe.
Pada produksi tempe, bibit tempe (selanjutnya akan disebut sebagai “inoculum”) pada kacang kedele yang telah direbus beberapa saat dan telah didinginkan perlu melalui proses inokulasi. Sebelumnya kacang kedele ini dibungkus dalam kantong plastik atau ditebar di atas daun pisang dan diinokulasikan dengan sejumlah bibit kapang yang terdiri atas beberapa campuran jenis kapang Rhizopus, antara lain Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae.
Selanjutnya campuran ini diinkubasikan pada suhu ruang yang relatif steril yang di dalam ruangan tersebut sudah didominasi kapang penghasil tempe. Sebanyak lebih kurang 3-5% inokulum tempe, dicampurkan dengan kacang kedele secara merata.
Jumlah inoculum yang dicampurkan ini sudah banyak dikurangi dari yang seharusnya (idealnya sekitar 10%), karena ruang fermentasi tempe biasanya sudah cukup “jenuh” dengan bibit (inokulum) tempe. Pada cara yang lebih tradisional, kedele dan inoulum tempe, diwadahi dalam daun pisang dengan ukuran sesuai yang dikehendaki.
Sistem campuran kedele dan inokulum ini selanjutnya diinkubasikan dalam ruangan sekitar 36-48 jam (pada tempat yang sudah khusus untuk membuat tempe biasanya 36 jam). Setelah kurun waktu tersebut, tempe sudah bisa dipanen.
Sebagaimana halnya membuat tempe, produksi enzim pun pada media padat dapat dilakukan dengan cara yang sama. Beberapa enzim yang umum dibuat menggunakan media padat antara lain amilase, pectinase, glucoamylase, selulase, protease, hemiselulase dan lipase. Beberapa media padat yang biasa digunakan dalam fermentasi media padat diantaranya ampas tapioka, ampas tebu atau bagas, beet pulp, dan wheat bran. Secara umum proses pembuatan enzim dengan media padat, dimulai dengan penyiapan inokulum.
Media inokulum tersebut disterilisasi terlebih dahulu untuk membunuh mikroba yang tidak diinginkan. Untuk melengkapi nutrisi yang diperlukan pertumbuhan mikroba secara optimum, maka media tersebut diperkaya dengan sumber nitrogen, vitamin dan mineral makro dan mikro. Inoculum yang sudah disiapkan diinokulasikan ke dalam media yang sudah diperkaya tersebut. Fermentasi dilakukan selama waktu tertentu, umumnya 36-48 jam. Berbeda dengan tempe yang media dan ragi tempenya yang merupakan produk yang dapat langsung dipanen, maka untuk enzim perlu proses hilir berupa ekstraksi atau isolasi, pemurnian atau purifikasi, pemekatan.
Ekstraksi dilakukan menggunakan air dan pelarut lainnya. Untuk membantu penglepasan enzim dari media padat maka digunakan surfaktan. Cairan ekstrak dipisahkan dari campuran melalui proses filtrasi atau sentrifugasi. Selanjutnya, enzim diisolasi atau dimurnikan dengan cara membran mikrofiltrasi. Produk yang diperoleh merupakan cairan enzim kasar dan pekat. Produk ini sudah dapat digunakan sebagai enzim komersial. Jika bentuk produk akhir yang diinginkan berupa bubuk maka dapat dilakukan pengeringan semprot (spray drying).
Bergantung pada tingkat kemurnian enzim yang ingin diperoleh, tahap pemanenan enzim dapat dilakukan sesuai dengan yang diinginkan. Setelah proses penyaringan pertama ini dapat dilanjutkan dengan penyaringan penukar ion.
Untuk keperluan ekstrak enzim kasar, hasil penyaringan pertama dapat dilanjutkan dengan penguapan perlahan, yaitu menggunakan api kecil sampai diperoleh jumlah cairan konsentrat yang dikehendaki. Pada proses ekstraksi enzim kasar ini biasanya diperoleh campuran enzim-enzim lain dalam jumlah minor.
Misalnya dalam memproduksi enzim pectinase sebagai produk yang dominan, dapat langsung dilakukan pengujian aktvitas enzim. Yang paling sederhana adalah menggunakan larutan pectin yang diukur viskositasnya menurut waktu perlakuan oleh larutan kasar enzim pectinase. Untuk produksi enzim-enzim lain banyak cara untuk mengukur aktivitasnya, termasuk aktivitas pectinase sendiri, mengingat enzim pectinase sendiri banyak jenisnya. Misalnya enzim poligalakturonase, enzim pectin esterase, enzim pektin metil esterase yang mungkin dihasilkan oleh banyak jenis mikroba yang dapat mendegradasi pektin menjadi metil alcohol, asam poligalakturonat, dan asam poli-galakturonat serta metil alkohol.
Secara garis besar, ada dua cara untuk mengukur aktivitas enzim. Cara pertama adalah dengan mengukur substrat yang tersisa, dan cara kedua adalah dengan mengukur produk enzim yang dihasilkan. Dalam hal ini diperlukan pengetahuan analisis komponen biokimia yang memadai. Pada cara pertama, misalnya dalam hal degradasi pati, kita boleh menganalisis pati yang tersisa atau produk degradasinya seperti glukosa.
Cara mana yang dipilih bergantung pula pada tujuan yang lebih spesifik, misalnya bila ingin seberapa jauh substrat telah terdegradasi, ukurlah patinya, bila ingin seberapa jauh produk akhir degradasinya, maka ukurlah konsentrasi glukosa yang dihasilkan.
Kembali ke hal produksi enzim dengan teknik fermentasi media padat, pengukuran produk yang terbentuk lebih lazim dilakukan ketimbang pengukuran sisa substrat, karena pengukuran sisa substrat kurang mencerminkan tujuan yang ingin diperoleh. Oleh sebab itu, pengetahuan pengukuran komponen kecil lebih utama daripada pengetahuan mengukur komponen besar. Untunglah hal ini sudah benyak diketahui pula. Misalnya mengukur glukosa pada kasus degradasi pati, sudah dirasakan lebih mudah dan lebih spesifik dari pada mengukur jumlah pati yang sudah terdegradasi atau yang tersisa. Demikian juga mengukur asam galakturonat yang terbentuk lebih mudah dan lebih spesifik daripada mengukur jumlah pektin yang sudah terdegradasi.
Sekarang, enzim-enzim apakah yang banyak dipakai dan dapat diproduksi seperti membuat tempe tersebut? Kalau boleh penulis sebutkan, beberapa contoh diantaranya amilase (untuk produksi glukosa), pectinase (untuk penjernihan jus), protease (untuk produksi asam-asam amino), dan lipase (untuk proses interesterifikasi). Memang tingkat kesulitannya berbeda-beda.
Penulis sudah berusaha mengurutkan contoh-contoh di atas sesuai dengan tingkat kesulitannya sebatas pengetahuan penulis. Bagi yang berminat dalam bidang bioteknologi, mari bersama-sama mencoba mengembangkan aspek-aspek di atas, dari mulai upstream sampai dengan downstream.
Di negara kita teknologi fermentasi untuk produksi bahan kimia di tingkat industri contohnya adalah produksi asam sitrat di Lampung dengan teknik fermentasi media padat. Patut dicatat, larutan mineral yang ditambahkan (sebagai aspek titik kritis yang paling memungkinkan) tidak boleh mangandung bahan-bahan yang meragukan seperti pepton, hidrolisat protein atau bahan pengaya lainnya yang dapat mengundang pertanyaan.
Misalnya pepton, merupakan hidrolisat protein yang larut dalam air, terbentuk pada tahap awal proses hidrolisis protein. Dengan demikian pepton masih merupakan komponen yang cukup komplek. Kehalalan hidrolisat protein tentu saja bergantung pada asal proteinnya. Bila berasal dari protein hewan haram, tentu saja haram pula hukumnya. Bila ada penambahan bahan-bahan lain di luar itu, harus ditegaskan jenisnya dengan jelas.
Sumber : http://www.halalmui.org/mui14/main/detail/fermentasi-media-padat-dari-tempe-sampai-enzim